Langsung ke konten utama

Undang-Undang Karet yang Bernama Penistaan Agama

Tulisan ini bukanlah hanya berisi opini pribadi namun, adalah kajian dari tulisan dan esai jurnalistik yang bisa dipertanggung jawabkan kebenaran sumbernya

Maraknya berita-berita soal isu agama yang dibawa ke ruang politik dan publik yang sering terjadi belakangan ini, membuat Indonesia gempar. Puncaknya adalah kasus penodaan agama yang dituduhkan pada Basuki Thayaja Purnama alias Ahok tertanggal 27 September 2016 pada saat berpidato di pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.


Terlebih dahulu mari kita belajar sejarah diciptakannya UU penodaan agama. Peraturan ini dibuat di akhir masa Orde Lama Soekarno 1965 (27 Januari 1965) yang saat itu membuat gerakan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Soekarno mengeluarkan aturan tersebut sebagai Perarturan Presiden Pengganti Undang-Undang (tidak melewati DPR) dan periode waktu itu adalah periode "revolusi" dan aturan tersebut dibuat pada masa Demokrasi Terpimpin ketika DPR, MPR dibubarkan dan dilantik secara prerogratif oleh Presiden Soekarno.

Berdasarkan dari sejarah pembuatan UU penodaan agama saja ada yang tidak relevan di masa saat ini. Satu, Aturan tersebut tidak melewati DPR dan hanya bersifat darurat. Dalam kajian hukum dan pemerintahan Indonesia, peraturan presiden pengganti undang-undang harus terlebih dahulu disahkan oleh DPR dan materi perppu haruslah sama dengan materi UU yang diganti. Bila hal ini dijadikan patokan untuk mempertanyakan keabsahan PNPS 1965 maka jawabannya tidak sah untuk diterapkan dikondisi Indonesia saat ini karena Indonesia tidak dalam keadaan darurat. Kedua, ditulis jelas di pertimbangan penetapan PNPS no 1/1965 adalah " dalam rangka pengamanan revolusi". Tentu saja revolusi yang dimaksud adalah "revolusi" Presiden Soekarno. Apakah Indonesia saat ini memasuki babak revolusi? Setau saya, sekarang ini sedang revolusi mental dari Presiden Joko Widodo yang belum terlaksana. Ketiga, aturan PNPS no 1/1965 hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan sebuah rezim. Jika pembentukan dan tujuan aturan ini sudah salah mengapa masih dipertahankan?

Kemudian secara materiil, pasal penodaan agama sangat multi tafsir tingkat "cancer". Tidak dijelaskan penodaan agama itu seperti apa wujud perbuatannya. Padahal untuk merumuskan sebuah tindakan pidana setiap tindakan harus dijelaskan secara rinci, contoh : perbuatan mencuri "mengambil kepemilikan orang lain tanpa seizin yang mempunyai". Adakah hal seperti itu dirinci di pasal 156a? Jawabannya tidak ada. Karena itu pasal penodaan agama tidak relevan dalam kehidupan Indonesia saat ini dan sering disebut "pasal karet"

Dalam memulai penuduhan seseorang terhadap penodaan agama selalu dimulai dengan sebuah aksi massa yang menuntut dipenjarakannya tertuduh. Aksi masa yang besar bisa kita lihat contoh pada kasus-kasus seperti Monas 2008, Syiah di Madura, dan Ahok 2016. Ironisnya kepolisian menuruti kemauan massa padahal, tidak ada bukti materiil yang dapat diukur dengan jelas dalam menjerat pelaku. Jadi di Indonesia, sangat jarang atau bahkan tidak ada orang didakwa penodaan agama tanpa dorongan massa. Kemudian, tidak ada satupun bahkan polisi dan hakim yang dapat membedakan antara penodaan agama dan gangguan ketertiban. Lebih parah lagi setiap dakwaan penodaan agama terdapat dakwaan gangguan ketertiban. Lucunya gangguan ketertiban ini juga sangat rancu karena kerap kali definisi dari gangguan ketertiban dalam dakwaan penodaan agama adalah membuat marah banyak orang. Ini berarti bila saya sedang sial dan bertemu dengan seorang intoleran, bisa-bisa saya masuk penjara karena membuatnya marah.

Ismail Hasani dan Setara Institute bahkan menyebut PNPS no1/1965 adalah pratek diskriminatif dan melanggar konsep HAM yang melindungi kebebasan individu dalam menafsirkan keyakinan yang dipercayai. Ismail sendiri menyebutkan orang-orang yang menafsirkan berbeda dengan MUI bisa dipenjara, sementara kalau penafsiran merupakan ekspresi verbal dari pemikiran. Gus Dur (Abdulrahmad Wahid), presiden RI ke-4 bahkan mengeluarkan esai 1982 di tempo yang akhirnya menjadi terkenal dengan judul "Tuhan tidak perlu dibela". Beliau sampai terheran-heran ketika pulang dari perkuliahannya diluar negeri karena begitu hebohnya Indonesia ketika masalah penodaan agama. Gus Dur sendiri pernah mengajukan judicial review untuk pencabutan UU tersebut, sayang tidak lama kemudian beliau meninggal.

Di sejarahnya, pasal penodaan agama telah banyak disalahgunakan bahkan beberapa diantaranya digunakan sebagai politik pratis yang menyerang identitas seseorang/golongan tertentu. Dari cerpen Ki Pandji Kusmin yang menjadi orang pertama tersandung pasal penodaan agama. Hingga di masa-masa modern seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, dan terakhir yang sedang memanas adalah Ahok.

Ketika PNPS 1965 diterbitkan hingga kejatuhan rezim orde baru, jumlah kasus hanya 10. Tetapi setelah era reformasi hingga saat ini, jumlahnya meningkat hingga 50 kasus. Diantara ke-50 kasus tersebut justru dipergunakan untuk politisasi agama jadi, ahok bukanlah kejadian pertama dalam politisasi agama di Indonesia. Mengapa jumlahnya meningkat?Karena adanya penguatan politik identitas (politik yang cuma melihat SARA) dan desentralisasi politik di daerah-daerah, pilkada langsung, ini mendorong orang-orang yang tidak mempunyai kreativitas politik melakukan cara efektif melalui isu SARA, kasus penodaan agama pun juga ikut bersama.

Negara juga ditenggarai membiarkan kasus-kasus penodaan agama bahkan cenderung menurut pada suara mayoritas. Suara mayoritas tentu saja agama mayoritas dalam kelompok masnyarakat. Dalam pasal PNPS dituliskan "orang yang melakukan tafsiran menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama". Pokok ini bisa saja diartikan mereka yang mayoritas ataupun mainstream. Benarkah demikian? Bahkan ahli-ahli agama sendiri juga memperdebatkan mana yang pokok dan cabang. Alasan kedua adalah negara mendidik warga menjadi tidak toleran karena adanya perbedaan. Maksudnya, negara sendiri seolah mengiyakan bahwa berbeda cara/keyakinan/tafsir itu salah dimata hukum. Akhirnya timbul orang-orang "sumbu pendek" yang intoleran, beda sedikit saja (misal jumlah rakaat seperti tarawih), dia bisa marah. Kalau sudah begini akhirnya jadi konflik berkepanjangan, dan semoga saja tidak terjadi di kemudian hari.

Hal lain mengapa PNPS ini harus dicabut karena, UU ini sebenarnya sudah dipergunakan orang banyak untuk merepresi golongan minoritas dan melanggar HAM dengan cara mengkriminalisasi orang lain. Bagaimana caranya merepresi golongan minoritas? Dengan membatasi kebebabasan berpendapat terhadap golonngan mayoritas di wilayah sedangkan, yang mayoritas seenak sendiri menjelek-jelekan mereka yang minoritas karena mereka merasa itu hal wajar (hal pokok) tidak ada yang salah. Sudah pasti ketika minoritas ini berbicara sesuatu tentang agama mayoritas, dianggap penodaan agama. Sementara kebebasan beragama, berkepecayaan, dan berpendapat telah dijamin dalam konstitusi 1945.

Sampai kapan kerancuan ini terus berlangsung karena hukum tidak boleh bercabang apalagi multi tafsir. Kalau pemerintah tetap ngotot mempertahankan PNPS sebaiknya segera revisi, perjelas maksud dari perbuatan penodaan agama. Jika sampai dikemudian hari tidak segera direvisi sebaiknya hapuskan saja UU tersebut, UU usang yang membuat Indonesia tidak bisa menjadi negara maju karena terlalu sibuk urus agama.

Sumber
https://tirto.id/politisasi-kasus-ahok-persulit-upaya-mematikan-pasal-ini-cnjR
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/01/16/ojv7pi396-uu-penistaan-agama-harus-dihilangkan
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37820572
https://news.detik.com/berita/d-3422209/rekomendasi-pencabutan-uu-penodaan-agama-didasari-ratifikasi-ham



 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Keluarga Mahasiswa Katolik St Algonz Universitas Airlangga (bagian 1)

Keluarga Mahasiswa Katolik atau KMK St Algonz bisa dibilang merupakan rumah kedua bagi pribadiku. Banyak kenangan yang sulit dilupakan, baik itu suka dan duka. Namun sesuatu yang terpenting dari semuanya, mereka selalu ada untukmu, itulah makna sebenarnya keluarga. Bagaimana aku berkenalan dengan KMK? Layaknya mahasiswa baru yang diperkenalkan universitas, aku tidak mengira bahwa perkenalan dengan KMK dimulai ketika selesai registrasi. Awalnya aku tidak begitu tertarik tentang pembicaraan KMK. Apa dipikirkan saat itu, UA (Universitas Airlangga) pasti mempunyai wadah untuk kebutuhan mahasiswa katolik dan ingin segera kembali ke rumah. Sebelum kembali pulang, kakak KMK saat itu memberikan sebuah selembar tulisan yang tidak kubaca selama perjalanan pulang dan baru dibaca ketika sampai dirumah. Apa yang tertulis diselembar kertas tersebut cukup mengejutkan karena, menceritakan perjuangan mahasiswa gerakan reformasi, Bimo Petrus . Bacaan tersebut sungguh menggugah hati sebab, ia ada...

Swiss Guard (bagian 2)

Sebelumnya di bagian 1. Saya menceritakan latar terbentuknya Garda Swiss Sri Paus. Kini mari bicarakan keadaan Garda Swiss terkini. Setelah Garda Swiss ditetapkan menjadi pasukan penjaga pribadi Sri Paus Julius II. Garda Swiss Kepausan ditarik dari medan perang dan fokus menjaga keselamatan Sri Paus. Uniknya Paus Julis II juga hanya meminta 200 pasukan. Namun, pada saat reformasi gereja oleh Martin Luther, posisi swiss guard semakin dikukuhkan sebagai penjaga kesucian gereja. Kini Garda Swiss hanya beroperasi di sekitar area lapangan St. Petrus, St. Basillika dan Sistine Chapel bukan, seluruh wilayah Vatikan. Satu-satunya perang yang dialami Garda Swiss adalah peristiwa pengempungan Roma oleh Kekaisaran Romawi Suci tanggal 6 Mei 1527. Meskipun Garda Swiss kalah telak karena kalah jumlah pasukan, mereka masih bisa menyelamatkan nyawa Paus Clement VII dan sejak peristiwa itu Garda Swiss mulai merekrut pasukan baru dan diambil sumpahnya pada tanggal 6 Mei. Untuk menjadi salah ...