Tanggal 19/04 2017 mungkin menjadi lembaran baru bagi ibukota Indonesia, Jakarta. Pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur-wakil gubernur telah usai. Dan telah kita ketahui dari hasil quick count dari lembaga-lembaga survey dimenangkan oleh pasangan no urut 3, Anies-Sandi. Sebelum tulisan ini dipostkan, saya telah menuliskan apa yang bisa terjadi setelah gelaran pilkada DKI disini.
Pertama, saya percaya di pilkada kali ini rakyat Indonesia akan belajar satu hal dari pilkada DKI tahun ini. Memang setiap gelaran pilkada DKI, selalu ada saja hikmat yang bisa diambil untuk Indonesia. Di tahun 2017 pilkada DKI memang telah memberi pelajaran berharga bagi Indonesia. Sayangnya kali pelajaran yang kita dapat adalah amat pahit. Sungguh amat pahit bahkan, ini akan dicatat di sejarah Indonesia bahwa, rasisme itu masih ada di Indonesia lebih parahnya, begitu mudahnya banyak orang terpancing oleh kampanye rasis.
Kejadian di pilkada DKI tidak jauh berbeda dari pengalaman menjadi mahasiswa ketika ikut dalam pemilihan ketua organisasi kampus. Seorang calon yang baik justru kalah dari calon "terpaksa" hanya karena peserta pemilih di intimidasi soal agama. Salah satu senior saya (dan kebetulan juga, ia senior dari calon yang kalah itu) menanggapi pemilihan tersebut "Gak bisa (dia menang), orang Indonesia itu udah terlanjur cathek (lekat) dengan nilai agamis. Kalau cuma untuk level bawah nilai agama tidak terlalu penting tapi, semakin strategis jabatan nilai agama semakin kuat" Apa yang dikatakan senior saya memang benar, saya melihat kejadian serupa dalam pemilihan ketua di lingkungan kampus yang berujung pada intimidasi soal agama"
Kejadian di pilkada DKI tidak jauh berbeda dari pengalaman menjadi mahasiswa ketika ikut dalam pemilihan ketua organisasi kampus. Seorang calon yang baik justru kalah dari calon "terpaksa" hanya karena peserta pemilih di intimidasi soal agama. Salah satu senior saya (dan kebetulan juga, ia senior dari calon yang kalah itu) menanggapi pemilihan tersebut "Gak bisa (dia menang), orang Indonesia itu udah terlanjur cathek (lekat) dengan nilai agamis. Kalau cuma untuk level bawah nilai agama tidak terlalu penting tapi, semakin strategis jabatan nilai agama semakin kuat" Apa yang dikatakan senior saya memang benar, saya melihat kejadian serupa dalam pemilihan ketua di lingkungan kampus yang berujung pada intimidasi soal agama"
Saya sempat percaya bahwa isu-isu SARA/rasis itu cuma angin yang akan berlalu tapi, menjelang hari-hari pencoblosan isu-isu masih saja tetap berhembus akhirnya, pemilih bukan lagi memilih siapa yang mempunyai program lebih baik, mereka hanya melihat hal-hal luar. Hal yang sebenarnya tidak kaitan dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika kita bertanya apakah Anies-Sandi menang karena ia mempunyai program lebih bagus? Maka itu pertanyaan yang sangat relatif untuk dijawab karena, semua akan terjawab ketika menjadi gubernur-wakil gubenur. Apakah program-program bisa terealisasikan atau tidak, bermasalah atau lancar? Namun jika faktor rasis, dalam hal ini adalah agama yang menjadi penentu kemenangan sesungguhnya, sungguh ironi sekali demokrasi negara kita ini. Apalah semua survey mahal-mahal itu yang memetakan permasalahan daerah? Apalah arti debat, adu-program yang selama ini kita lihat dan dengar jika, semuanya hanya masalah keimanan seseorang. Ini seolah membuat negeri Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah-olah calon pemimpin yang hebat sekalipun yang beragama minoritas tidak diperkenankan untuk menjadi pemimpin didaerah mayoritas. Pilkada kemarin dijalankan dengan demokrasi tapi, itu baru sebatas kebebasan memilih & dipilih.
Anda tahu Karl Marx, seorang sosiolog terkenal? Ia pernah berkata "Agama seperti candu, yang membius rakyat dalam suasasa ketertindasan mereka dan menjanjikan pahala di akhirat atau memberi jalan ritual sebagai kompensasi ritual" Saya bukan penganut sosialis tapi setelah gelaran pilkada DKI kemarin saya harus mengakui (meski benci), apa yang diucapkan Marx ada benarnya. Rakyat Jakarta (dan bisa jadi rakyat Indonesia) telah dibutakan oleh agama hingga kehilangan akal sehat dan budi pekerti. Disebut kehilangan akal sehat karena, mereka telah dilayani pemimpin hebat namun, hasutan rasis begitu mudahnya membutakan fakta dan realitas.
Saya tidak peduli Ahok kalah di pilkada, saya lebih mempedulikan pendidikan politik Indonesia setelah pilkada DKI selesai. Kejadian pilkada DKI ini cukup pertama dan terakhir di lembaran sejarah Indonesia, cara-cara agamis/rasis dibawa ke panggung politik menuju singgasana kekuasaan. Sedih rasanya jika para generasi penerus bangsa menjadi pilkada DKI sebagai role mereka dijadikan metode untuk meraih kedudukan. Saya tidak mau apa yang dicita-citakan para founding father kita mengenai pancasila, kebhinekaan dan NKRI tergadaikan untuk meraih kekuasaan. Yang lebih penting lagi, jangan sampai pilkada DKI menjadi rangkaian peristiwa yang lebih buruk di Indonesia.
Karena nasi sudah menjadi bubur, saya ucapkan Anies-Sandi semoga Jakarta menjadi lebih baik. Jangan lupakan janji-janji manismu selama kampanye (biar rakyat Jakarta yang mengingatkan Anda, dan btw, saya ingin pindah ke Jakarta kalau proram rumah Anda berjalan). Dan untuk Basuki-Djarot tetap lanjutkan perkerjaan sampai oktober. Setelah itu biarlah Tuhan menentukan jalan terbaik untuk kalian berdua.
Komentar
Posting Komentar