
sumber : GettyImage
Gambar diatas adalah pertemuan tahun konferensi dunia mengenai perubahan iklum dunia. Mereka menyepakati bahwa bumi saat ini dalam keadaan gawat darurat akibat terus kenaikan suhu dan tiap kenaikan suhu 0,5 Celcius akan membuat bumi terancam bencana. Pertemuan juga membahas mencapai target Paris Agreement, sebuah pakta perjanjian untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan pemenuhan persetase sumber energi terbarukan global hingga 20%. Yang menjadi pertanyaan, kenapa energi nuklir tidak dimasukan? Walaupun energi nuklir adalah energi bersih.
Energi terbarukan (renewable energy) adalah energi didapatkan dari alam sekitar, air, angin, panas bumi (geothermal), biofueled, panas matahari (surya). Manusia sudah memanfaatkan tenaga tersebut selama ribuan tahun namun, saat itu belum digunakan untuk kepentingan energi listrik skala global. Barulah di abad ke-20 energi terbarukan ini digunakan untuk kebutuhan listrik global. Pembangkit tenaga energi terbarukan bermunculan baik di belahan dunia. Kini energi terbarukan menyumbang 6-7% dari total energi dunia. Tenaga dari air menjadi penyumbang terbanyak dimana 70% output energi terbarukan berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Negara-negara yang menghasilkan energi terbarukan cukup besar sebagai sumber energi antara lain, Islandia, Swedia, Kosta rika dan Nikaragua.
Nuklir dijadikan sumber energi sejak 1950an ketika Uni Soviet menjadi negara pertama yang membangun instalasi reaktor pembangkit listrik (power plant) dan pembangkit tenaga nuklir jumlah terus bertambah. Proses reaksi nuklir adalah fisi nuklir atau pemecahan atom berat (Uranium-235) menjadi lebih ringan yang kemudian memicu reaksi berantai dalam reaktor. Reaksi berantai membuat tenaga nuklir sangat effisien dibanding energi fossil seperti, minyak dan batubara. 1 pallete (4,5gr) bahan bakan nuklir setara 350L minyak atau 400Kg batubara. Kelebihan-kelebihan ini membuat negara maju saat itu berusaha memenuhi kebutuhan energi dengan tenaga nuklir. Bahkan banyak negara menggantungkan sebagian besar energi pada tenaga nuklir seperti, Perancis (70%), kawasan daratan eropa (50-35%), Korea Selatan, Jepang (30-25%), Amerika, Rusia, Inggris Raya, China (20%).
Namun kejadian meltdown di three mile island (1977), bencana Chernobly (1984), dan terakhir bencana Fukushima (2011) menyebabkan desakan menghentikan operasi pembangkit nuklir semakin kuat. Padahal banyak tidak mengetahui bahwa, pebangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) adalah salah satu jenis pembangkit listrik yang ber-emisi rendah, effisiensi tinggi, aman dan bertarif murah. Akibat desakan tersebut jumlah pasokan energi global dari nuklir terus menurun tiap dekade, kini nuklir hanya menyumbang 11% dari total energi di seluruh dunia dan diprediksi akan terus menurun.
Selain isu kecelakaan kerja, faktor lain yang menyebabkan PLTN sulit menjadi bagian dari energi bersih adalah ongkos instalasi reaktor dan geo-politik suatu negara. Instalasi reaktor nuklir dari tiap generasi PLTN (kini generasi IV) kian mahal. Mahalnya bukan hanya untuk meningkatkan output daya reaktor tapi juga, kekuatan bangunan jika hal-hal buruk terjadi. Bayangkan saja satu reaktor mungkin butuh ratusan hingga ribuan ton lapis besi & baja. Itu belum soal pembebasan lahan sekitar untuk dijadikan kawasan PLTN. Kemudian tanggapan masnyarakat umum tentang nuklir yang masih negatif. Di tingkat pemerintahan pusat, lama pembangunan PLTN yang bisa mencapai 5-10 tahun menjadi problem politik. PLTN yang digagas satu periode kepemimpinan, bisa saja tidak dilanjutkan pada kepemimpinan berikutnya akibatnya proyek PLTN jadi proyek mangkrak yang menelan dana triliunan rupiah.
Disisi lain kebutuhan suplai energi terbarukan terus bertambah. Beragam penemuan terkait peningkatan output energi baik panel surya, kincir angin ataupun baterai dengan kapasitas besar namun tersimpan didalam wadah kecil. Selain faktor effisiensi yang semakin bagus, energi terbarukan lebih mudah diterapkan pada skala-skala kecil pada kehidupan modern. Mobil listrik, atap rumah panel surya, kompor biogas. Tentu saja kemudahan tersebut menjadikan energi terbarukan target untuk kehidupan modern dimasa depan.
Harapan & Tantangan Masa Depan
Meskipun tenaga nuklir terus dikurangi bukan berarti energi nuklir memiliki masa depan suram. PLTN yang dunia miliki saat ini adalah PLTN fisi nuklir, kini para peneliti seluruh dunia mencoba hal yang belum pernah dilakukan yaitu, tenaga dari fusi nuklir.Jika fisi nuklir adalah proses pemecahan logam berat menjadi unsur lebih ringan maka sebaliknya, fusi nuklir adalah penggabungan unsur ringan menjadi unsur lebih berat dalam percobaan ini adalah 2 atom hidrogen digabung menjadi helium. Intinya fusi nuklir itu seperti matahari/bintang versi mini yang dijadikan sumber energi. Tapi percobaan ini masih dalam persiapan dan belum tentu bisa dikomersialkan Namun jika percobaan fusi nuklir ini berhasil hingga ketahap komersial, energi bersih dan murah bisa dicapai dimasa depan.
Untuk energi terbarukan pada saat ini, kita tentu berharap energi terbarukan mampu memenuhi kebutuhan energi global dan bisa menggantikan energi fosil di suatu hari nanti. Namun bukan berarti energi terbarukan tanpa halangan. Halangan energi terbarukan secara umum adalah kondisi geografis yang berbeda tiap wilayah. Tantangan lainnya bagaimana mewujudkan pembangkit energi terbarukan yang bersahabat dengan alam, ya bagi kalian yang belum sadar, pembangkit energi terbarukan berpotensi memberi dampak negarif ekosistem alam liar dimana pembangkit didirikan. Mengapa bisa begitu? Karena pembangkit energi terbarukan membutuhkan lahan yang amat luas. Bagaimana energi terbarukan menyelesaikan kedua problem diatas? Jawabannya dengan meningkatkan effisiensi output dan transfer energi. Sehingga didaerah yang punya sumber energi terbarukan terbatas tetap mampu mendapatkan energi cukup dan tidak memakan banyak lahan.
Tantangan Bersama
Sebenarnya ada tantangan bersama bagi masa depan nuklir dan energi terbarukan yaitu, para bos-bos konglomerat yang bermain di energi fosil. Karena dunia sudah menyetujui untuk mengurangi penggunaan energi fosil, otomatis bisnis energi fosil lama-kelamaan tidak menguntungkan. Para konglomerat energi fosil (minyak & batubara) tentu saja akan berusaha mempertahankan eksistensi bisnis mereka dengan cara apapun bahkan, sebagian dari konglomerat ini punya "wakil" di badan legislatif. Bagaimana caranya para pembisnis energi fosil ini melawan energi terbarukan akan saya tulis di bagian lain namun, yang jelas perlawanan itu ada, perlawanan terhadap keberadaan energi bersih yang sudah saatnya dibutuhkan untuk merawat bumi dari bencana PEMANASAN GLOBAL.
untuk bagian 2, klik disini
Komentar
Posting Komentar