Apa yang saya tuliskan disini merupakan pengalaman, perasaan dan pandangan pribadi terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Sejak saya mulai memulai pendidikan dari tingkat dasar dan perguruan tinggu saya menyadari ada yang salah dalam sistem pendidikan di Indonesia bahkan lebih banyak negatif dibanding positif. Pendidikan Indonesia bisa dibilang mampu berbicara di ajang olimpiade sains tingkat Internasional bahkan dimuat media cetak beberapa kali tentang kemenangan Indonesia yang tentu mengharumkan bangsa. Tapi tunggu dulu, hasil yang paling dapat dilihat dari sistem pendidikan (baca:kurikulum) adalah produk output dari peserta didik.
Fakta ironis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terbesar ke-3 di Asia namun, kurikulum dilaksanakan berada di kawasan negara raport "merah". Salah satu mengapa Indonesia kurikulumnya terbelakang adalah pemikiran kurikulum yang masih pakem lama. Sejak SD murid-murid sudah ditekankan untuk menghapal dibanding berpikir kreatif akhirnya kebiasaan ini dibawa hingga jenjang-jenjang pendidikan berikutnya. Nilai kognitif memiliki porsi lebih besar dibanding nilai psikomotor dan afektif akhirnya murid berusaha mendapatkan nilai kognitif setinggi mungkin (saya bahas pada alasan berikutnya).
Kedua, sejak SD pula guru pengajar masih menggunakan cara lama yaitu, komunikasi satu arah. Selama saya mengikuti pendidikan di Indonesia, tenaga pengajar seolah dikejar oleh waktu. Dalam satu ajaran tenaga pengajar diberi tenggat waktu untuk menyelesaikan materi bahan ajar, entah murid mampu untuk menangkap isi bahan ajaran tersebut. Selain ada kebijakan sekolah/perguruan yang merotasi jadwal tenaga pengajar. Sehingga guru/dosen hanya bertatap muka hanya untuk beberapa waktu. Sebagai contoh adalah Finlandia yang memiliki kebijakan tidak merotasi guru/dosen dalam kurun waktu tertentu untuk kelas dan siswa. Akibatnya siswa dan guru biasanya terus bertatap muka dalam kurun waktu lama. Ada keterikatan pastinya antara keduanya, guru tentunya lebih mengenal personal kemampuan siswa untuk diarahkan lebih baik. Mungkin salah satu kebijakan ini bisa diterapkan atau percontohan terlebih dahulu.
Ketiga, dan ini dikatakan beberapa praktisi pendidikan adalah Ujian Nasional. UN atau Ujian Nasional dianggap sebagai dosa terbesar yang dilakukan pemerintah dalam mencetak akademisi. UN dianggap sebagai senjata terhebat untuk membunuh kreativitas. Itu memang saya rasakan, UN saya anggap sebagai beban sehingga akhirnya nilai kognitif yang diincar. Apalagi UN masih ditempatkan sebagai salah satu faktor kelulusan siswa hingga saat ini. Akhirnya tujuan "suci" UN yang harusnya menjadi sekadar evaluasi pendidikan selama 1tahun gagal total karena tujuan itu dibelokan menjadi persaingan mendapatkan nilai UN sebagai prestige dengan cara apapun dan dengan pakem tertentu. Jika pemerintah ingin UN kembali ke tujuan "suci" maka, UN tidak boleh dimasukan kedalam salah satu faktor kelulusan. Jika masih pemerintah masih ngotot memasukan UN ke dalam faktor kelulusan maka harus dalam persentase rendah.
Kini pemerintah telah menyiapkan formula kurikulum baru "Kurikulum 2013" yang diyakini menjadi jawaban untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, menurut saya ini kurikulum ini dimajukan terlalu cepat. Sudah dimajukan tanggal rilisnya namun, persiapan dari pemerintah untuk implementasinya masih setengah-setengah. Mengapa kesungguhan pemerintah dalam mempersiapkan kurikulum ini dipertanyakan? Karena kurikulum 2013 memakan dana APBN senilai 2 Triliun meningkat dari anggaran semula yang 600 Miliar. Kemudian, sosialisasi guru-guru/tenaga pengajar yang tidak genap 6 bulan saja. Buku-buku ajaran yang dicetak belum terlalu lengkap.
Kurikulum baru ini juga aneh karena beberapa mata pelajaran yang digabungkan dan dihilangkan. Untuk mata pelajaran yang digabungkan seperti IPA, IPS ke pelajaran Bahasa Indonesia membuat banyak guru di wilayah dalam kesulitan implementasinya. Pelajaran seperti bahasa daerah pun keberadaannya juga dihilangkan dalam draft kurikulum 2013. Padahal, bahasa daerah tidak sekadar bahasa daerah namun, kearifan lokal. Tapi, karena palu sudah diketuk dan menteri M.Nuh tetap pada perkataan "masa depan penerus bangsa dipertaruhkan" ya sudah kita laksanakan kurikulum ini sebaik mungkin. Kalau ditemukan kesalahan atau ingin revisi yang lebih baik masnyarakat bisa mengawasinya. Pemerintah juga harus mau membuka hatinya untuk masalah kritik dan saran kurikulum.
Ketiga, dan ini dikatakan beberapa praktisi pendidikan adalah Ujian Nasional. UN atau Ujian Nasional dianggap sebagai dosa terbesar yang dilakukan pemerintah dalam mencetak akademisi. UN dianggap sebagai senjata terhebat untuk membunuh kreativitas. Itu memang saya rasakan, UN saya anggap sebagai beban sehingga akhirnya nilai kognitif yang diincar. Apalagi UN masih ditempatkan sebagai salah satu faktor kelulusan siswa hingga saat ini. Akhirnya tujuan "suci" UN yang harusnya menjadi sekadar evaluasi pendidikan selama 1tahun gagal total karena tujuan itu dibelokan menjadi persaingan mendapatkan nilai UN sebagai prestige dengan cara apapun dan dengan pakem tertentu. Jika pemerintah ingin UN kembali ke tujuan "suci" maka, UN tidak boleh dimasukan kedalam salah satu faktor kelulusan. Jika masih pemerintah masih ngotot memasukan UN ke dalam faktor kelulusan maka harus dalam persentase rendah.
Kini pemerintah telah menyiapkan formula kurikulum baru "Kurikulum 2013" yang diyakini menjadi jawaban untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, menurut saya ini kurikulum ini dimajukan terlalu cepat. Sudah dimajukan tanggal rilisnya namun, persiapan dari pemerintah untuk implementasinya masih setengah-setengah. Mengapa kesungguhan pemerintah dalam mempersiapkan kurikulum ini dipertanyakan? Karena kurikulum 2013 memakan dana APBN senilai 2 Triliun meningkat dari anggaran semula yang 600 Miliar. Kemudian, sosialisasi guru-guru/tenaga pengajar yang tidak genap 6 bulan saja. Buku-buku ajaran yang dicetak belum terlalu lengkap.
Kurikulum baru ini juga aneh karena beberapa mata pelajaran yang digabungkan dan dihilangkan. Untuk mata pelajaran yang digabungkan seperti IPA, IPS ke pelajaran Bahasa Indonesia membuat banyak guru di wilayah dalam kesulitan implementasinya. Pelajaran seperti bahasa daerah pun keberadaannya juga dihilangkan dalam draft kurikulum 2013. Padahal, bahasa daerah tidak sekadar bahasa daerah namun, kearifan lokal. Tapi, karena palu sudah diketuk dan menteri M.Nuh tetap pada perkataan "masa depan penerus bangsa dipertaruhkan" ya sudah kita laksanakan kurikulum ini sebaik mungkin. Kalau ditemukan kesalahan atau ingin revisi yang lebih baik masnyarakat bisa mengawasinya. Pemerintah juga harus mau membuka hatinya untuk masalah kritik dan saran kurikulum.
Komentar
Posting Komentar