Langsung ke konten utama

Bersama Lawan Radikalisme dan Terorisme

Aksi teror bom Surabaya selama 2 hari berturut-turut yang dilakukan keluarga membuat kita bertanya. Mengapa dalam satu keluarga memutuskan bom bunuh diri?

Mitos yang sering kita dengar tentang faktor awal keberadaan organisasi radikalis agama adalah kemiskinan dan kebodohan (pendidikan yang kurang). Kemiskinan mendorong orang berpikir bahwa hidupnya tidak memiliki arti, dan menumbuhkan kebencian kepada orang yang mempunyai harta lebih. Bagi mereka jalan akhir hidup mereka tinggal dua pilihan, mati dalam kemiskinan atau mati sebagai martir. Tentu saja mati sebagai martir adalah pilihan terbaik. Mitos lain soal pengaruh kebodohan atau kurangnya pendidikan. Faktor kurangnya pendidikan secara tidak langsung dipengaruhi kemiskinan. Mereka tidak bisa meraih jenjang pendidikan tinggi dan rentan dimanipulasi oleh organisasi radikalis/teroris, baik lewat kepercayaan ataupun ideologi. Sekali para radikalis ini berhasil memanipulasi, orang tersebut akan mudah sekali dicuci otaknya. Dua faktor ini adalah faktor klasik bagaimana organisasi radikalis/teroris menjaring anggota.

Tetapi yang terjadi di Surabaya adalah kebalikan dari teori klasik yang dijelaskan diatas. Pelaku yang terdiri satu keluarga (Bapak, Ibu, dan anak-anaknya) ini berasal dari golongan kelas menengah. Mereka memiliki tempat tinggal yang layak, berlatar pendidikan tinggi, penghasilan yang mencukupi, anak-anak merekapun mendapatkan pendidikan layak juga. Jadi timbul pertanyaan jika bukan faktor kemiskinan dan pendidika tak layak, mengapa mereka ikut organisasi radikalis/terorisme?

Alasan pelaku terduga teror kemungkinan adalah keinginan untuk kehidupan sekitar mereka. Organisasi radikalis/teroris menjanjikan kepada mereka, situasi saat ini bisa berubah jika,  mengikuti aturan/ajaran para radikalis/teroris dan menolak semua aturan/ajaran selain ajaran kelompok radikal tersebut. Kemungkinan lain karena ingin perubahan dalam pemerintah. Khusus untuk Indonesia, perubahan ini tentu saja mengganti ideologi negara pancasila dan UUD 1945 dengan khilafah islam. Dan itu mencapai target tersebut (mengganti ideologi negara) satu-satunya cara dengan jalan kekerasan yang bagi mereka diperbolehkan. Parahnya lagi mereka dicuci otak dengan dalil bom bunuh diri dilakukan karena ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang sesat. Tindakan yang disertai dalil seperti ini bisa menjadi pematik bagi sel-sel teroris untuk melakukan hal yang sama pula. Terbukti di teror bom Surabaya, setelah teror bom di sejumlah gereja, muncul lagi teror bom yang dilakukan satu keluarga. Perlu kalian ketahui cuci otak dengan memasukan dalil mengkambing hitamkan sesuatu dalam negara pernah dilakukan oleh Lenin, Mussolini, Hitler hingga Bin-Laden.

Ada satu pengalaman berharga seorang peneliti bernama Haroon Ullah dari Universitas Georgetown. Suatu ketika saat Ia melakukan penelitian tentang motif radikalisme di Pakistan, ia menginap dirumah salah satu keluarga kelas menengah. Si suami mempunyai bisnis/toko kelontong, si istri bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki dan anaknya diberi kehidupan dan pendidikan layak. Lalu timbul kasus pembunuhan pejabat penting dan si anak merespon bahwa pejabat tersebut memang pantas mati karena telah berbicara atas nama agama minoritas disana. Kedua orangtua tersebut kaget bukan kepalang. Bagaimana mungkin, anak mereka yang telah diberikan kehidupan dan pendidikan yang layak bisa berkata seperti itu. Cerita ini pasti tidak hanya dialami orangtua di pakistan namun, juga orangtua di Indonesia.

 Jadi bagaimana kita melawan kelompok radikal/teroris ini? Hal pertama dan (paling) penting disadari adalah melihat teroris apa adanya, jangan disangkal keberadaannya. Pelaku teroris di Indonesia memang beragama islam dan masuk dalam kelompok radikal yang bertujuan mengganti ideologi Pancasila & UUD 1945 dan organisasi radikal saat ini mengincar orang-orang intelektual dari kelas menengah. Kelompok radikal selalu mengemukakan hal yang sama, perbanyak bom bunuh diri agar mencapai tujuan "mulia". Kedua media berita harus mengutuk segala perbuatan tindakan terorisme. Media sosial atau berita yang memuji atau mengacuhkan tindakan terorisme justru menjadi motivasi calon-calon pelaku tindakan teror di kemudian hari. Ketiga adalah peran orangtua dan guru. Para orangtua dan guru meski menolak paham radikalisme bukan berarti anak dan siswa mereka otomatis anti gerakan radikal. Mereka harus terus-menerus menanamkan nilai-nilai kehidupan pluralitas pada anaknya. Keempat adalah peran politikus dengan tidak saling lempar batu seperti saat ini DPR dan Pemerintah saling lempar batu tentang RUU anti-terorisme. Tapi harus bersinergi untuk segera menuntaskan UU anti-teror untuk keamanan negara. Kelima adalah peran pemuka agama. Pemuka agama memegang peranan tak kalah penting dalam melawan radikalisasi dan tindakan terorisme. Pemuka agama harus bersikap menolak dan menentang segala jenis radikalisme dan tindakan teror. Selama ini pelaku tindakan teror "ditipu" dengan janji bidadari surga oleh kelompok radikalis. Disinilah peran pemuka agama untuk meluruskan paham tersebut bahkan bila perlu mengutuk ajaran-ajaran sesat tersebut.

Saat ini Indonesia telah memiliki perisai Undang-Undang untuk melibas kelompok radikalis yang berniat merubah dasar negara. Hizbuh Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satunya yang kini berstatus organisasi terlarang. Tapi bukan berarti ideologi merubah Pancasila dengan khilafah otomatis berhenti. Organisasi mungkin kini telah terlarang tetapi, anggota dan simpatisan masih berkeliaran bebas. Bagaimana caranya agar ideologi sedikit demi sedikit mati? Hanya umat muslim Indonesia yang tahu caranya. Yang pasti umat muslim Indonesia harus menjauhi kegiatan dakwah-dakwah beraliran HTI dan ISIS bahkan bila perlu segera dilaporkan pada pihak berwenang jika memang meresahkan. Kini RUU anti-teror tengah memasuki babak akhir namun, bukan berarti kita sebagai warga sipil tinggal berleha-leha dalam melawan radikalisme. Dengan hadirnya UU anti-teror nanti, keterlibatan kita dalam melawan gerakan radikalisme akan semakin dibutuhkan. Melawan gerakan radikalisme juga mencegah tindakan teror dikemudian hari. Jangan takut melawan gerakan radikalis dan terorisme, mereka memang ada tapi, bukan berarti kita takut. Salam Satu Nyali, WANI!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Keluarga Mahasiswa Katolik St Algonz Universitas Airlangga (bagian 1)

Keluarga Mahasiswa Katolik atau KMK St Algonz bisa dibilang merupakan rumah kedua bagi pribadiku. Banyak kenangan yang sulit dilupakan, baik itu suka dan duka. Namun sesuatu yang terpenting dari semuanya, mereka selalu ada untukmu, itulah makna sebenarnya keluarga. Bagaimana aku berkenalan dengan KMK? Layaknya mahasiswa baru yang diperkenalkan universitas, aku tidak mengira bahwa perkenalan dengan KMK dimulai ketika selesai registrasi. Awalnya aku tidak begitu tertarik tentang pembicaraan KMK. Apa dipikirkan saat itu, UA (Universitas Airlangga) pasti mempunyai wadah untuk kebutuhan mahasiswa katolik dan ingin segera kembali ke rumah. Sebelum kembali pulang, kakak KMK saat itu memberikan sebuah selembar tulisan yang tidak kubaca selama perjalanan pulang dan baru dibaca ketika sampai dirumah. Apa yang tertulis diselembar kertas tersebut cukup mengejutkan karena, menceritakan perjuangan mahasiswa gerakan reformasi, Bimo Petrus . Bacaan tersebut sungguh menggugah hati sebab, ia ada...

Undang-Undang Karet yang Bernama Penistaan Agama

Tulisan ini bukanlah hanya berisi opini pribadi namun, adalah kajian dari tulisan dan esai jurnalistik yang bisa dipertanggung jawabkan kebenaran sumbernya Maraknya berita-berita soal isu agama yang dibawa ke ruang politik dan publik yang sering terjadi belakangan ini, membuat Indonesia gempar. Puncaknya adalah kasus penodaan agama yang dituduhkan pada Basuki Thayaja Purnama alias Ahok tertanggal 27 September 2016 pada saat berpidato di pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Swiss Guard (bagian 2)

Sebelumnya di bagian 1. Saya menceritakan latar terbentuknya Garda Swiss Sri Paus. Kini mari bicarakan keadaan Garda Swiss terkini. Setelah Garda Swiss ditetapkan menjadi pasukan penjaga pribadi Sri Paus Julius II. Garda Swiss Kepausan ditarik dari medan perang dan fokus menjaga keselamatan Sri Paus. Uniknya Paus Julis II juga hanya meminta 200 pasukan. Namun, pada saat reformasi gereja oleh Martin Luther, posisi swiss guard semakin dikukuhkan sebagai penjaga kesucian gereja. Kini Garda Swiss hanya beroperasi di sekitar area lapangan St. Petrus, St. Basillika dan Sistine Chapel bukan, seluruh wilayah Vatikan. Satu-satunya perang yang dialami Garda Swiss adalah peristiwa pengempungan Roma oleh Kekaisaran Romawi Suci tanggal 6 Mei 1527. Meskipun Garda Swiss kalah telak karena kalah jumlah pasukan, mereka masih bisa menyelamatkan nyawa Paus Clement VII dan sejak peristiwa itu Garda Swiss mulai merekrut pasukan baru dan diambil sumpahnya pada tanggal 6 Mei. Untuk menjadi salah ...